Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa peristiwa idul adha berawal dari kisah Nabi Ibrahim a.s yang harus mengorbankan anak satu-satunya saat itu, Nabi Ismail a.s.
Setelah merasa usianya sudah tua, dan belum juga diberi keturunan, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah untuk diberikan keturunan dan berandai-andai jika memiliki anak, maka kelak anaknya akan dipersembahkan kepada Allah. Maksud dipersembahkan disini sangat luas. Bentuk persembahan ada berbagai macam. Misalnya, mendidik anaknya menjadi seorang rahib, sufi, pengabdi Allah, atau yang lainnya. tanpa pernah terpikir bahwa beliau akan dituntut untuk mempersembahkan anaknya dengan cara disembelih seperti binatang kurban, Allah pun menganugerahkan kepada Nabi Ibrahim seorang anak yang saleh sesuai doanya yang disebutkan dalam al-Qur’an surat ash-Shaffat ayat 100 yang berbunyi:
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
Artinya : “Ya Tuhanku! Anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh”

Setelah doanya dikabulkan, Nabi Ibrahim mendidik anaknya dengan ketauhidan, dan kepatuhan yang sangat tinggi kepada Allah dan orang tua. Bisa dikatakan, Nabi Ibrahim sudah berusaha memenuhi janji untuk menjadikan anaknya sebagai persembahan kepada Allah yaitu dengan mengajarakan kepada anaknya agar mempersembahkan seluruh perbuatan dan kehidupnya kepada Allah. Namun, tidak cukup dengan usaha tersebut. Sekali lagi Allah ingin menguji keikhlasan Nabi Ibrahim a.s. dengan mimpi menyembelih anaknya. Sekali, mimpi itu belum dianggap sebagai perintah Allah. Dua kali, Nabi Ibrahim a.s mulai mengingat janji atau angan-angan yang pernah ia sampaikan sebelum diberi anak. Dan pada mimpi ketiganya, Nabi Ibrahim yakin bahwa mimpi itu adalah teguran dari Allah.
Kejadian yang dialami oleh Nabi Ibrahim di atas sangat relate dengan kehidupan kita saat ini. Contoh kecilnya, saat sibuk tak sempat berkunjung menyambung silaturahim dengan sanak saudara kita berangan-angan jika diberi waktu luang akan mengunjungi saudara. Pada relalitanya, ketika benar-benar diberi liburan panjang dan waktu luang pun kita tidak juga mengunjungi saudara dengan berbagai alasan, misal tidak ada uang untuk ongkos, tidak ada uang untuk beli oleh-oleh, anak rewel, dan sebagainya. Pada akhirnya kunjungan tertunda dan yang terjadi hanya video call, telepon, kirim pesan WA atau menyambung silaturahim melalui dunia maya saja. Tak jarang juga Allah menegur kita atas kelalaian kita dalam memenuhi angan-angan tak terwujud kita seperti diberi sakit selama liburan dan sebagainya. Sayangnya, kita sebagai manusia yang kurang berfikir lebih sering tidak menyadari teguran tersebut dan menganggap sakit yang kita alami adalah efek kelelahan setelah bekerja setiap harinya.

Jika Nabi Ibrahim yang mendapat julukan Khalilullah pun untuk menyadari kesalahan dan Ikhlas menerima teguran dari Allah membutuhkan waktu tiga hari, apalagi kita yang hanya manusia tempatnya salah dan lupa? untuk bisa memahami teguran dari Allah dan Ikhlas menerimanya kita tentu butuh waktu yang bisa jadi lebih dari tiga hari. Agar lebih cepat bisa Ikhlas menerima kesalahan dan teguran Allah, Nabi Ibrahim melakukan puasa tarwiyah, dan arafah. Kenapa puasa? Karena puasa adalah simbol pelepasan manusia terhadap perkara duniawi (makan, minum, nafsu, emosi, dan sebagainya).
Kembali pada kisah Nabi Ibrahim, setelah Ikhlas dan menjalankan perintah Allah yang diterima Nabi Ibrahim melalui mimpi, Allah pun menggantinya dengan hal yang jauh lebih baik, yaitu anak saleh yang sudah teruji, binatang ternak yang digantikan untuk anaknya saat prosesi penyembelihan, juga sunnah yang terus dibudayakan oleh umat muslim hingga saat ini, termasuk shalawat yang dikhususkan kepada Nabi Ibrahim yang dibaca setiap shalat oleh umat Islam.
Dari kisah ini, kita diberi contoh bentuk kasus yang disebabkan oleh keinginan manusia yang tak terbatas dan ketika sudah terpenuhi ia akan lupa untuk mensyukuri apa yang sudah Allah berikan. Setelah teguran diberikan, cara mempercepat munculnya keikhlasan dalam diri adalah dengan berpuasa. Yakinlah bahwa balasan dari keIkhlasan adalah hal-hal terbaik dari Allah SWT. (wallahu a’lam bish-shawab).